RSS

Part Test of Life

Salam kenal buat kawan terhebat,
"Hanya seseorang yang mengabdikan dirinya untuk suatu alasan dengan seluruh kekuatan dan jiwanya yang bisa menjadi seorang guru sejati. Dengan alasan ini penguasaan menuntut semuanya dari seseorang."
-Albert Einsten-

TUTORIAL MENGEDIT FOTO MENGGUNAKAN EFEK BOOST DAN PENERAPAN TULISAN PADA PHOTOSCAPE

-->
TUTORIAL MENGEDIT FOTO MENGGUNAKAN EFEK BOOST DAN PENERAPAN TULISAN PADA PHOTOSCAPE

                                                 
1.       Pastikan jika aplikasi photoscape dan picasa 3 sudah di download dan terinstall pada computer/laptop anda
2.       Langkah selanjutnya yaitu buka aplikasi photoscape terlebih dahulu
3.       Kemudian pilih icon untuk memulai memberikan efek tulisan pada photo
4.       Selanjutkan lakukan pemilihan lokasi foto berada dengan menggunakan pilihan yang berada di bagian kiri aplikasi photoscape, pilih foto sesuai dengan kemauan
5.       Setelah itu pilih tab object lalu klik icon  hingga muncul tampilan seperti berikut
6.       Pada tahap ini kita isikan kalimat papun sesuka hati kita pada kolom teks, kemudian atur jenis teks, ketebalan, posisi huruf, variasi huruf, warna huruf yang akan digunakan dan masih banyak fasilitas yang bisa di gunakan pada aplikasi ini.
7.       Setelah proses pemilihan sudah selesai maka pilih ok
8.       Lalu buka aplikasi picasa 3 pada computer atau laptop anda. Langsung lakukan pemilihan gambar yang tadi baru saja di edit
9.       Kemudian pilih icon lalu pilih efek Boost maka kemudian akan tampil sebagai berikut
10.   Atur Strengh sesuai dengan kemauan anda
11.   Untuk menambah tampilan agar lebih cantik berikan juga efek Vignette maka tampilan akan lebih menarik
12.   Selesai. Silahkan mencoba, jangan lupa menyimpan setiap terjadi perubahan efek dengan memilih apply.
Semoga bermanfaat!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HUJAN TURUN -Sheila on 7

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN -Sheila On 7


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

AKU BENCI

 
-->
MENANGIS HEMPAS RINDUKU
Senyum berdendang dalam hidup kelamku
Sinari hatiku, genggamlah sorotan paradigma redupku
Penaku tiba-tiba melukis semua tentangmu
Panorama tangis itu kembali ada dalam lembar padu
Ornamen terbingkai dalam lekuk garis wajahmu
Membentuk segerombol kata rinduku terhadapmu
Angin telah merusak porak poranda cinta yang tertata
Aku tetap ingin melihatmu tertawa sedia kala
Menyirat lembut dalam denyut nadiku
Merembet hebat dalam detak jantungku
Rindu yang telah memenjarakanku
Membuatku takut kehilanganmu lagi
Melepas genggaman tanganmu
Membiarkan cincin sakral itu hilang
Membiarkan rasa ini tetap tumbuh lumpuh
Aku masih menyukaimu,
Mencoba berdiri walau telah kucoba untuk lari
Aku menyerah, menghapus rasa dalam hatiku ini
Hanya ada kamu, tak ada sosok lain dicelah rasaku
Selain kamu, hanya ada satu cinta darimu
Walau ku tahu kau tak lagi menginginkanku
Biarkan aku berkata terakhir untuk mengenangmu
Kembalilah padaku. . .

Aku hanya enggan ...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IBUKU SURGA SEGALANYA BAGIKU



 
AKu dengar selisik nasehatmu dalam mimpiku
AKu sambut senyum indahmu memancar duniaku
AKu do’akan kebahagiaan untukmu
AKu tundukkan kepalaku dalam karenamu
Bermunajat sejenak, memejam serempak
Kusadar jika  sering membantah ucapanmu
Maafkan aku Ibu,  wahai surga segalanya bagiku
Kuterpejam dalam tidur dekap pangkuanmu
Terasa hangat, mendayung semangat tanpa penat
Terbungkus asa tanpa hikayat rasa
Tercoret risalah syahdu berpita biru
Senyumanmu merembas emosi langkah jiwaku
Nasehatmu meredam sekotak cerita buruk diriku
Suaramu menyambar hebat dalam urat nadiku
Bercampur rasa menakjubkan karena kehadiranmu
Kuteteskan airmata rindu tidak melihatmu
Jiwaku kosong, ragaku palsu kaku membisu
Temani hariku Ibu, tuntunlah aku
Dalam gelap jiwa kasih terangmu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SENANDUNG KECIL UNTUK IBUKU



Aku duduk sendirian dikursi panjang kusam di depan kelasku. Aku tertunduk dalam dan berulang kali berdo’a untuk bisa dengan cepat melupakan tragedi itu. Mataku berkaca-kaca, tapi sungguh. . . aku tak menangis karena ejekan mereka. Ejekan yang slalu saja membuatku mengerti betapa sakitnya terinjak-injak karena bisa hadir di dunia ini tanpa kehadiran seorang Ayah. Bukan, bukan itu. Hanya karena masalah kecil yang ku anggap sebagai perang besar. Tidak ada satu orang lelakipun yang mau mengakui aku sebagai anak. Dan kau tahu, apa sebutan mereka untukku,”si anak haram”. Selalu saja tanganku menggengam erat ketika mendengar ejekan mereka. Tapi harus bagaimana lagi, ini memang fakta dan aku tidak bisa lari begitu saja dari kenyataan pahit ini. Aku mendongak ke atas, menyejajarkan pandanganku dengan Savara, si cantik dan ratu gaul di sekolahan. Aku memandangnya lekat-lekat, membuat jantungku meloncat-loncat karena amarah yang selalu saja muncul ketika aku mendengar deheman dan senyum ejek mereka. Aku berusaha menahannya, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menoleh ke arah kanan untuk bisa membuat Savara terbuang dari pandanganku.
            “Ayo teman-teman , jangan dekat-dekat dengan anak haram!” Ucap Savira keras sambil menggoyangkan sebagian tubuhku dengan telunjuk kanannya. Aku hanya diam, tak sedikitpun berniat untuk membalas ejekan itu walau dengan satu kata sekalipun. Tidak akan ada gunanya.
:)
Hari minggu yang membosankan. Aku tak sedikitpun mencoba untuk beranjak dari tempat tidur. . Badanku panas, dan aku kira, aku memang benar-benar sakit. Kepalaku tiba-tiba saja pusing ketika aku pulang dari sekolah. Pandanganku perlahan-lahan kabur ketika aku mencoba berdiri. Pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka. Ibu berdiri disana. Membawa sepiring nasi ditangan kanan dan segelas susu di tangan kirinya. Entahlah, pagi ini tiba-tiba saja aku merasa jika Ibulah yang menjadi alasanku sakit kali ini. Sebenarnya aku juga tidak mau mengakuinya. Tetapi? Apa sallahnya aku menanyakan keberadaan Ayah dan pergi mencarinya, menghentikan ejekan teman-teman dan membuktikan kepada mereka jika aku bukanlah anak haram yang mereka maksud. Aku menutupi wajahku dengan ppunggung tanganku, aku dengar lamat-lamat langkah kaki Ibu menghampiriku.
“Kau sakit?” tanya Ibu lembut kemudian menempelkan punggung tangannya di leherku. Tetapi aneh, tangan Ibu yang sangat dingin saja terasa panas ketika aku baru saja mencoba mengumpulakn tekad untuk mencari keberadaan Ayah. Tapi aku tak tega. Aku pernah menyinggung tentang masalah ini tapi tetap saja Ibu mengatakan jika Ayah sudah meninggal. Aku yakin itu bohong, karena selalu saja ada tatapan dan sikap gelisah Ibu ketika aku berucap kata “Ayah”.
“Kau mau ke dokter?” ucap Ibu lirih, aku hanya menggeleng sekenanya. Dan tiba-tiba saja aku menangis, aku tak tau kenapa, tetapi setiap kali aku mengingat Ayah, dalam waktu yang bersamaan aku juga akan melihat bayang Savara di ingatanku. Aku meringkuk, memendamkan kepalaku di selimut tebal. Aku tak ingin Ibu tahu jika aku sedang menangis.
“Fara, ada apa? Kamu menangis?” tanya Ibu.
“Ti. . . dak. . .” ucapku terbata-bata sambil menahan isak tangis dan berulang kali mengusap air mataku pelan.
“Jangan bohong! Kamu fikir Ibu tidak tahu bagaimana gerak kamu menangis. Ayolah Fara, kamu kenapa?” tanya Ibu lagi sambil menarik pelan selimut yang menutupi kepalaku.
“Aku tidak apa-apa Ibu. . .” ucapku pelan.
“Fara, Ibu tahu kamu punya masalah. Lalu, kepada siapa lagi kamu akan mengadu jika bukan kepada Ibu,” ucap Ibu lirih dan menarik pelan badanku ke dalam pelukannya. Tubuhku tiba-tiba saja lemas, Ibu menangis dan tangannya mengelus lembut rambutku. Jantungku terasa sesak, nafasku tiba-tiba saja berhenti. Kenapa aku merasa bersalah seperti ini? Bukannya ini mauku, membuat Ibu merasa bersalah dengan keadaanku sekarang ini.
“Jadi, maukah kamu menceritakan masalahku kepada Ibu?” ucap Ibu sambil meregangkan pelukannya.
“Aku. . . aku. . . aku,” ucapku gagap.
“Kenapa?” ucap Ibu lagi meyakinkanku.
“Aku diejek teman-teman,” ucapku lirih dengan airmata yang masih menetes.
“Diejek? Memangnya apa salahmu?” tanya Ibu lagi sambil membenarkan posisi duduknya. Aku terdiam, aku tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Jika aku adalah bintang sekolah yang terkenal karena embel-embel burukku. Ibu. . . Ibu, aku tidak bisa berterus terang. Aku tidak bias begitu saja memilih untuk jujur atau berbohong. Tapi aku berubah fikiran, sama sekali aku tidak akan membuat Ibu terluka karena sikap burukku.
“Fara. . .” ucap Ibu membuyarkan lamunanku.
“Kenapa?” sambung Ibu.
“Karena aku. . . aku. . . aku, jelek dan tidak punya wajah cantik seperti mereka. . .” ucapku berbohong.
“Fara? Cuma hal itu kamu menangis. Fara, tatap mata Ibu,” ucap Ibu lagi sambil mendongakkan kepalaku dengan tangan kanannya agar aku bisa menatap lekat-lekat kedua bola mata Ibu. Aku mengangguk berarti mengerti.
“Cantik itu bukan terlihat dari bagaimana bentuk dan ternilai dari tubuhnya, tetapi cantik itu dilihat dari dalam hati. Kamu mengerti?”
“Benarkah?” tanyanya sedikit tertarik dengan ucapan Ibu.
“Benar. Apakah Ibu pernah berbohong? Tidak ada satu orangpun wanita jelek, yang ada hanyalah wanita yang tidak tahu bagaimana cara dia akan terlihat cantik dengan kekurangannya itu.”
“Ibu. . .” ucapku lirih karena terkagum dengan ucapan Ibu. Topik yang sama sekali tidak ingin aku bicarakan malah bisa membuatku mulai memahami arah hidup ini. Cantik itu umum, dan aku fikir. . . Savara cantik, tapi entahlah. Aku tidak berani menilai orang karena aku yakin, jika aku menjadi Savira. Aku akan dengan bangga bisa tersenyum kepada dunia dan menunjukkan wajahku yang benar-benar terlihat cantik. Aku hanya memastikan jika memang Savara masih menjadi manusia yang normal pada umumnya.
“Kamu pernah berfikir jika kamu tidak cantik,” ucap Ibu seolah tahu apa yang sedang aku fikirkan.
“Um. . .” ucapku mengada-ada.
“Ya sudah. Fikirkan baik-baik. Jangan buat sesuatu hal yang sebenarnya mudah itu menjadi sulit. . .” ucap Ibu lagi, mengecup keningku kemudian berdiri dan melangkah pergi meninggalkan kamar. Aku duduk bersandar, apa yang harus aku lakukan untuk bertemu dengan Ayah? Aku tidak kuat lagi menahan rasa penasaranku dan menganggap ejekan Savara sebagai angin lalu.
“Ayah, kau dimana?” ucapku lirih sambil menengkurapkan kepalaku disela-sela lipatan tanganku.
J
Aku duduk memunggungi Nata yang sedang duduk dibelakangku. Entah apa yang membuat hari ini terasa jenuh dimataku. Aku hanya duduk terdiam, menoleh sekilas ketika aku dengar suara handphoneku. Nama ibu berkedip-kedip disana.
“Fara..” ucap Nata kearahku. Aku menoleh, memandang aneh kearah Nata.
“Ada apa?” ucapku lagi.
“Aku tidak kuat lagi melihat si ratu gaul itu terus saja menghinamu seperti ini?” ucap Nata dengan suara tergesa-gesa.
“Sial, memangnya apa yang dia lakukan?”ucapku sambil membalikkan tubuhku kearah Nata.
“Fatin, si jago basket yang sudah lama kamu suka juga dihasut sama omongan mereka. . .” tambahnya.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia Fatin, dan aku adalah aku.”
“Tapi dia menjelek-jelekkan mu. . .”
“Aku tidak perduli Nata. Dia Fatin, anak mantan suami Ibuku yang kesekian kali. Dan semua sudah berakhir, dia saudaraku dan perasaan kagum itu hanya permainan.”
“Lalu apa kira-kira respon dari Fatin. . .?”
“Dia akan mudah mempercayainya,” ucapku ketus.
Aku berdiri, meninggalkan Nata yang masih saja tertunduk kaku dengan pandangan kebingungan. Aku tak perduli, dengan cepat dan sigap aku berjalan menuju UKS dan berniat untuk membolos jam sekolah kali ini. Pikiranku kacau, aku bingung. Ini semua gara-gara Ibu. Kenapa aku yang harus menanggung karma Ibu? Aku mematung ketika aku melihat Fatin dan Savara berdiri memenuhi pintu UKS di seberang koridor. Aku memutar badan, berusaha menghindar dari bantaian makhluk kejam seperti mereka. Berusaha membutakan mata dan pura-pura menulikan telinga. Tapi semuanya sia-sia saja, tidak sesuai dengan rencana yang semula.
“Mau kemana?” ucap Savara singkat menghentikan langkahku. Aku berdiri kaku.
“Udahlah Savara, biarin dia pergi. Si anak haram?” ucap Fatin lirih tetapi tetap saja terdengar pedas ditelingaku. Aku menoleh seketika, menatap tajam wajah Fatin dari kejauhan dan berjalan cepat memutar arah. Kenapa? Kenapa rasa kagum dan bahagia ketika dekat Fatin kini sudah tidak aku rasakan lagi. Kenapa semuanya begitu cepat? Kedekatan dan keakraban begitu saja musnah dan tergantikan dengan permusuhan dan dendam seperti ini. Lagi-lagi ini karena Ibu.
“Fara, ngaca dong! Ayahku sebenarnya tidak pernah mau punya anak tiri dari hasil hubungan gelap kaya’ kamu ini. Kamu kira, aku mau jadi saudaramu?” ucap Fatin. Hanya samar kudengar teriakan itu. Tapi aku yakin, aku tak bisa dengan cepat melupakan hinaan dari orang yang pernah aku kagumi. Yang pernah aku puja tetapi ternyata sekarang berbeda dan berubah seratus delapan puluh  derajat. Hanya permusuhan yang akan slalu ada setelah kejadian itu. Ketika aku bertemu Fatin dipernikahan Ibu dan ternyata Fatin adalah calon saudaraku. Tinggal satu rumah dengan rasa sungkan. Itu memang mudah untuk Fatin, sedangkan aku. . . aku pernah menyukainya. Dan pada akhirnya semua ikatan setelah ibu meminta cerai tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu seratus persen Fatin sudah membenciku.
J
Aku berjalan tergesa-gesa karena aku inign cepat sampai kerumah. Aku tidak kuat lagi, aku tak bisa lagi meanhan keinginanku tentang keberadaan Ayah. Dan aku harus berani mengatakannya. Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamar Ibu dan mengetuknya perlahan.
            “Ibu. . .” sapaku ringan. Nngggiiikkk pintu terbuka.
            “Ada apa sayang?” ucap Ibu tenang kearahku.
Aku menangis, aku tidak tau kenapa aku harus menangis seperti ini. Aku menarik nafas panjang, menormalkan nada dan intonasi baru kemudian menyusun kata-kata.
            “Ibu. . .”, sapaku terbata-bata.
            “Kenapa? Kok menangis?” ucap Ibu sambil memapah aku memasuki kamar.
            “Ibu, ak. .  aku. . . aku ingin bertemu dengan Ayah. . .”
Tiba-tiba senyum lebar Ibu lenyap. Ibu tertunduk lesu.
            “Ibu, aku benar-benar ingin bertemu dengan Ayah. Apakah aku tidak pantas memanggil Ayahku sendiri dengan sebutan itu. Ibu. . . ibu. . . aku diejek sama teman-teman?”
            “Diejek kenapa?”
            “Karena aku anak haram?”
            “Haram? Siapa yang berani?” ucap Ibu sadis.
            “Fatin. . .” jawabku singkat.
            “Hah. . .?” ucap ibu aneh.
            “Iya, Fatin anaknya Om Burhan. Kenapa sih bu? Kenapa? Sekarang Fatin benci banget sama aku.” Ibu tidak menjawab, menunduk dalam-dalam dan tidak berani menatap kearahku.
            “Kenapa ibu harus nikah sama Om Burhan kalau nyatanya tidak cocok? Aku korban perasaan bu, Fatin sudah berubah. Memutar arah dan memusuiku gara-gara Ibu dan Om Burhan cerai.”
            “Kamu tidak tahu nak. . .”
            “Aku memang tidak tahu ibu, dan Ibu juga tidak pernah berkata-kata jelas. Tidak pernah bercerita sedikitpun tentang Ayah. . .” ucapku dengan airmata yang semakin menderas.
            “Ayahmu sudah meninggal Fara,” ucap Ibu sambil membelai sebagian rambutku.
            “Tidak, Ibu bohong. Fara tahu, ada sesuatu hal yang memang Ibu sembunyikan dari Fara.” Teriakku sambil keluar kamar dan pergi dari rumah.
J
Sudah beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah. Aku menginap dirumah Nata dan tidak sedikitpun menghubungi Ibu. Aku tidak berangkat sekolah, hanya duduk terdiam dikamar Nata dan menunggui pulang. Pikiranku kosong, aku sama sekali tidak tau apa yang harus aku lakukan setelkah ini. Aku membaringkan tubuh diranjang Nata. Sudah jam dua siang. Sebentar lagi Nata akan pulang, tiba-tiba saja aku mendengar suara motor mendekati rumah. Itu suara, itu suara motor Fa. . . Fatin, aku bergegas membuka tirai jendela untuk memastikan. Mataku membelalak lebar ketika aku melihat Fatin ada disana. Berdiri dibelakang Nata dan mengikuti langkah Nata memasuki rumah. Aku gelisah, berulang kali aku menunduk untuk berdo’a. Aku memulih untuk mengunci pintu kamar dan aku duduk membelakangi pintu, mengupayakan tubuhku akan dengan sigap menahan pintu dibnuka secara paksa oleh Fatin ataupun Nata. Tik. .  tok. . . tok, suara ketukan pintu terdengar jeals saat aku menempelkan telingaku dipermukaan pintu.
            “Fara. . . Fara. . ..” sapa Nata. Aku diam, tidak berusaha menjawab sapaan Nata.
            “Fara, ini kau Fatin. Aku Cuma mau jemput kamuaja. Ayahku baru saja telfon dan katanya ibumu kecelakan. Kamu harus cepat datang kesana karena Ibumu sangat membutuhkan kehadiranmu disampingnya. . .” ucap Fatin dengan suara keras. Jantingku berdetak hebat, seketika aku meanangis. Aku tidak bisa membayangkan jika Ibu. . . jika Ibu. . Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Aku tergesa-gesa membuka pintu, tubuhku seketika terasa lemas, dan mataku berkunag-kunang. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan aku akan cepat bangun dari kejadian tragis yang menimpa Ibu. Jika bisa, aku juga akan memutar waktu kembali dan tidak akan membaut Ibu cemas seperti sekarang ini. Kutatap Fatin yang berdiri tepat didepanku,
            Bohong, aku tahu kamu membenciku. . . tapi kumohon, jangan pernah kamu bawa betrita buruk tentang Ibu. . .” ucapku keras, berusaha menyembunyikan air mataku yang tidak bisa aku bendung lagi.
            “Ayo ikut aku. . .” ucap Fatin sambil menarik tangan kananku, seakan tidak memperdulihan teriakan keraasku barusan. Aku hanya menurut dan tak berkomentar apa-pa karena tenagaku sudah habis untuk memberontak.
Di rumah sakit
Om Burhan sudah duduk tenag disamping ranjang Ibu ketika aku dan Fatin memasuki kamar rawat. Aku tidak bisa menahan tangis ketika aku melihat Ibu terkulai lemas diatas ranjang.
            “Fara. . .”y ucap Ibu lirih menatap tepat kearahku.
            “Ibu. . .” jawabku sambil berlari dan memeluk Ibu.
            “Maafkan aku Ibu, maafkan aku. . .” ucapku dengan isakkan tangis.
            “Kenapa? Ibu tidak marah. Itu wajar Fara, kamu sudah dewasa dan kamu butuh openjelasan tentang keberadaan Ayahmu. Om Burhan akan menjelaskannya,” ucap Ibu sambil menoleh kearah Om Burhan. Seketika aku langsung menoleh kearah Om Burhan, menunggu respon dan penjelasan darinya.
            “Tapi aku kira, aku sudah perduli dengan masalah itu. . .” ucapku berbohong.
            “Begini. . .” ucap Om Burhan memulai pembicaraan.
            “Fara, Fatin kenapa kalian harus bermusuhan? Bagaimanapun juga aklian bersaudara. Fara, sebenarnya kamu terlahir karena ibumu diperkosa. . .”
            “Hah?” ucapku sambil menutupi sebagian mulutku yang menganga. Aku tidak percaya.
            “Dan aku Ibumu memang saling menyukai sejak dulu. Sebelum ada kejadian tragis itu. Walau pada akhirnya Ibumu sudah hamil. Kamu beruntung Fara, alasan ibumu tidak jadi bunuh diri itu karena kamu. Karena awalnya Ibumu tidak mau kamu lahir tanpa siapa-siapa, jadi Ibumu kemudian memilih utnuk tetap mempertahankanmu hingga sekarang. Dan tentang perceraian itu. . .” ucap Om Burhan menarik nafas dalam-dalam, menoleh kearah Fatin yang berdiri lemah menyandar didinding.
            “Ibumu meminta perceraian ini terjadi karena ibumu tahu, kau meyukai Fatin. Anak angkat Om Burhan. . .” Fatin mendingak kaget, menatap mataku lekat-klekat setelah aku menoleh kearahnya.
            “Dan kamu Fatin, relakan perceraian ini dan berhentilah menyalahkan Fara. .” ucap Om Burhan lirih. Fatin bergerak cepat,
            “Sepertinya aku harus pergi,” ucap Fatin kemudian berjalan keluar ruangan. Aku tidak bisa apa-apa lagi, menangis didalam pelukan Ibu membuatku semakin merasa tekan.
            “Maafkan aku Ibu. . .” ucapku lagi.
            “Ibu tahu Fara, penjelasan yang kamu butuhkan.”
            “Terima kasih Ibu. Entah apa yang harus aku lakukan tanpa Ibu. Terima kasih karena Ibu sudah membesarkanku dan tetap mempertahankanku. Dan Fara juga tidak tahu dengan cara apa lagi bisa membalas budi baik Ibu. . .”
            “Hanya senyumanmu yang bisa membuat Ibu seolah bisa melupakan semuanya. . .”
            “Tetapi Fatin. . .” ucapku sambil menoleh kearah Om Burhan.
            “Fatin. Jangan khawatir dengan anak itu. Semuanya akan baik-baik saja.” Ucap Om Burhan mendekati aku dan Ibu, meregangkan tangannyaa dibahuku.
            “Terimakasih. . .”
Nnndddrreeetttt nndderrreetttt
Fara, aku tidak tahu tentang perasaanmu
Jadi aku harap kamu bisa memafkanku
Saudaraku
Sender
Fatin
08765433xxx
            “Dari Fatin. ..” ucapku singkat setelaah membaca SMS itu.
            “Benarkan, dia baik-baik saja. . .”ucap Om Burhan sambil mengangguk kecil.
Terimakasih Ibuku. Mungkin, aku tidak akan pernah hadir di dunia ini tanpamu.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS