Rindu. Dingin. Terhempas. Dikhianati. Bercumbu dengan bebabuan tanah yang baru saja basah oleh rintikan hujan yang datangnya satu-satu. Rasanya jelas sekali─hampa─menggelayut setiap ujung-ujung ingatan. Jarum pendek dan panjang berlarian seperti layaknya anak kembar. Merangkul persendian lututku yang semakin beradu menggigil melawan udara yang merajuk-rajuk minta dirasakan. Tak ubahnya seperti kawanan bunga yang layu karna terlalu banyak diairi. Begitu pula aku. Kamar sempit berukurusan empat kali tiga ini terasa luas sekali. Selonggar ruang di dada sebelah dalam ini. Seperti sudah disemayami apa-apa yang harusnya tidak pernah lagi dikenang. Untuk apa dilupakan? Itu sepenggal cerita dibalik layar. Rasanya enggan keluar dari lingkaran drama tanpa sutradara. Sakit. Sebelah sini. Sebab rasaku yang seharusnya terumbar dan tergerai didepan mu nyatanya sudah menjadi fosil yang tak terjamah karena terkubur dalam-dalam. Hingga aku tak ingat seberapa dekat aku dan kamu─kala itu.
Aku sudah paham betul lamanya
menantikan. Benar. Nyatanya hak wanita yang patut untuk ditunaikan adalah
penantian. Menjemukan. Memang. Lantas, kau juga tak bisa mengubah takdir yang
sudah digariskan dengan mengejar cinta pria yang masih mengambang diingatan. Mengucapkan
“hati-hati dijalan” setiap bertemu meski tidak mungkin─tidak akan pernah─dia
mendengarnya. Kalau dikira cinta itu adalah apa-apa yang membuat candu. Tapi
ini rasanya berbeda. Lebih memabukkan.
***
Kita
berenam berjalan berdampingan keluar dari gedung kuliah. Berperawakan tinggi
pendek sepeti lidi-lidi sapu yang bisa merambah tanah dimanapun pemiliknya
menjuntaikannya ke segala arah. Matahari seperti malu-malu keluar, membuat hari
ini mendung ke abu-abuan. Ah, yang seperti ini yang membuat mata menyipit acap
kali dosen mengawali perbincangannya. Fonem-morfem-klausa-frasa… Duh sampai
rasanya kata-kata yang sulit dihafalkan itu akan menikahiku dalam waktu dekat.
Gedung kuliah itu beridiri gagah, seperti gedung-gedung pencakar langit dikota
besar. Sayangnya, gedung itu hanya berlantai tiga dan mencakar beberapa pohon
lebat di tumbuh subur diarea parkiran. Kami masih berbisik-bisik tanpa kendali.
Membiacarakan ini-itu yang sebenarnya tidak berbobot tapi bisa saja
ditertawakan sebab kami memiliki selera humor yang berbeda-beda.
Ayus,
bercelana panjang hitam, sepatu bertali berwarna abu-abu, berjalan lebih cekat
dari yang lain. Melolongkan suaranya sekeras dentuman tabuhan di pesta
perkawinan. Pribadinya yang mudah akrab dan ringan tawa. Bercanda. Baik hati.
Pecinta kata, pecandu bahasa penikmat sastra. Menyukai minuman warna coklat. Secret
admirer abal-abalan. Frontal.
Ersa,
Proporsi tubuhnya yang paling tinggi. Penyuka pakaian bermotif bunga-bungaan.
Tas ransel. Pecinta gado-gado tanpa kubis dan cambah. Penggila pria ganteng
bermata sipit dan music-musik bernuansa korea. Pengamat mahasiswa jurusan
sebelah. Pemaksa kehendak. Egois. Terbuka. Satu-satunya teman yang mencintai
“hujatan” sebab dia yakin adanya kekuatan dalam ketidakberdayaan.
Ulin,
penyuka warna-warna terang, bercelana hijau penuh bordiran bunga disaku
belakang. Pemakai switer biru. Pemakan nasi goreng. Tinggi badan seratus empat
puluhan kurang. Berat badan ringan. Berambut pirang tak terawat. Baik hati.
Tenang. Cuek. Paling muda. Bertas ungu dengan pita warna-warni dibagian pembukanya.
Nimas,
badan tinggi. Tegap. Pemilik hati senetral-netralnya hati manusia. Paling hebat
terhadap nasihat percintaan. Teori seratus dan praktek nol. Lunglai. Paling
suka membaik-baikkan keadaan. Tebakannya yang jitu. Instingnya yang jarang
meleset. Suka bergulat dengan hal-hal sastra komedi.
Dian.
Tomboy. Ramah. Menyenangkan. Mencintai alam. Pengagum mata elang. Rendah hati.
Berkomitmen. Jarang masuk kuliah. Suka pergaulan. Penggemar nasi sarden dua
porsi dan gorengan. Senang sekali meminjam barang. Penggoda laki-laki yang
berwatak pendiam. Penuh kebingungan. Percaya diri.
Resi.
Berambut panjang. Berlogat bukan jawa. Agak tinggi. Suka sekali jus berwarna
pingk. Tas ransel hitam. Berkaca mata. Tertarik dengan malam keakraban yang
diadakan beberapa unit kegiatan kampus. Belum pernah memakai rok selama kuliah.
Berenam
mengitari meja segi empat dikantin kampus. Sedang sibuk dengan pikiran
masing-masing. Cekikikan tak karuan. Hati-hati saja, sebab waktu akan terasa
lebih cepat dari biasanya.
***
Namaku
Ayus. Singkatan dari Aku yakin untuk setia. Setia? Aku sudah berhenti pada satu
tumpuan. Berdiri pada satu titik samar yang masih saja ku raba-raba
kejelasannya. Rasanya dangkal. Jatuhnya sudah dalam menembus jurang. Pernah
tidak menyukai orang selama enam tahun? Lantas tak pernah sedikitpun kau
dianggap. Bukan, tepatnya tak terjamah. Ibaratnya begini, salah tidak jika kita
sedang duduk di halte tepi jalan menunggu angkutan. Lama. Menunggu. Namun tak
juga yang kau nanti itu berhenti di dekatmu lantas membiarkanmu masuk ke
dalamnya dan merawat apa-apa yang ada disana. Dan ketika ada yang ikut singgah
disampingmu, mengajakmu berbicara dan bercanda, mengajakmu bermain kata dan kau
tak sadar ikut hanyut didalamnya. Salah tidak? Sesat tidak? Hina tidak? Kesannya rendah sekali. Tapi sungguh, perasaku
hanya jatuh di satu tempat. Laci-laci ingatanku dominan sudah ku siapkan untuk
satu nama. Tapi apa nyatanya? Ruangnya masih kosong, gelap, berdebu, bising,
dan rasanya ingin ku bongkar saja lantas ku buat ruang-ruang baru yang lebih
terang.
“Kau tau jus apa yang paling buruh
di dunia?” tanyaku pada mereka yang masih mengunyah makanannya, menatapku
lamat-lamat tanpa daya. Alis mereka terangkat setengah-setengah. Beberapa dari
mereka memicingkan mata, membuat bulu-bulu matanya melengking merajam
bagian-bagian yang ada di sekitarnya.
“Jangan ditanggapi, paling juga
tentang status ketidak jelasannya terhadap pria berkaos abu-abu itu? Emm jus..
jus the way you are.” Tebak Nimas singkat. Menunjukkan mukanya yang datar tanpa
radian. Masih dengan tangan yang sibuk menggertakkan sendok dan garbu
bersamaan.
“Dian, jam dua belas.. dua belas …”
ucapku pada Dian sambil memeri isyarat yang berarti menyuruhnya untuk melihat
apa-apa yang ingin aku ceritakan yang sedang berada ditempat yang berarah
dengan jarum jam dua belas. Dan tiba-tiba saja nama Ian berkedip-kedip dilayar
handphone. Ucapan selamat pagi. Dan tak kutanggapi pesan singkat itu. Tepat.
Kalau boleh aku buka rahasiaku selama ini. Aku masih saja berusaha berpaling
dengan menjalin perasaan dengan Ian. Meski nyatanya, meski pada dasarnya.
Hatiku tidak pernah berjalan kearahnya. Perhatianku tak pernah tersita untuk
sekedar membalasnya. Rasanya hambar. Ya, hambar. Rasanya menjalani hubungan
tanpa landasan itu seperti ranting yang mengambang tenang. Bisa saja terjepit
di dahan-dahan yang penunjang ketanahnya lebih kokoh. Begitu pula aku. Menanti
satu orang namun tak kunjung datang itu melelahkan sekali. Membuatku iba untuk
membalas perasa yang sudah jelas-jelas ingin berbagi denganku. Dengan hati yang
sudah nyata-nyata ingin merangkulku ketika aku ketakutan. Pada sepasang mata
boneka yang tak kenal lelah meyakinkanku jika dia amat mencintai dan merinduku.
Maka dari itu rasanya tidak tega juga, tak kuat juga berkata padanya untuk
berhenti menyukaiku. Cukup aku. Cukup aku yang pernah mengasihi tapi tak pernah
sampai. Hanya aku, aku saja. Aku sudah faham betul bagaimana sakitnya tak
terbalas.