PENANTIAN BERSEKAT
Mi
Amor di titik nol kota Madrid
Penulis :
Sayfullan
Penerbit :
Senja, Yogyakarta
Terbit :
Desember 2013
Tebal :
314 Halaman
ISBN :
978-602-255-403-5
Penantian? Lantas apa yang kemudian terlukis di dalam benak seketika mengeja kata itu? Kebanyakan pemikiran remaja selalu mengaitkan antara penantian dengan kisah percintaan yang penuh kesetiaan lantas selalu ada hal-hal romantis di dalamnya. Menganalogikan cinta sekedar perihal gaib yang mengikat pasangan yang mengeram di hati satu sama lain. Padahal cinta tak sesempit itu, sedang penantian tidak sesingkat menunggu turunnya hujan. Meski hujan deras mengguyur, masih tetap ada pelangi yang memayungi (hal.239).
Tuhan bahkan menciptakan suatu
perbedaan pada perkara yang kadang dianggap sama. Sepasang anak kembar yang
amat sangat mirip wajah dan postur tubuhnya tetapi memiliki perangai yang amat
sangat berbeda, Kiana dan Serilda. Kiana yang menggeluti dunia seni, fashionable, supel, dan ramah sedangkan
Serilda yang tergila-gila dengan ilmu sains, anti fashion, judes, galak, dan egois. Kedengkian juga membuat mereka
saling jauh dan tidak ingin terlihat sama, misalnya dalam hal berpakaian dan
model rambut. Lantas apa yang membuat mereka sama? Mereka sama-sama menyembunyikan
kecintaan bersaudara dihati mereka masing-masing.
Sedang apa hebatnya cinta? Cinta
bisa meleburkan kekerasan hati dan membakar kedengkian di hati Serilda atas
keberhasilan bakat yang dimiliki Kiana. Cinta pula yang membuat hasrat ingin
memiliki terpenjara rapat-rapat. Kiana belajar mencintai dengan cara
mengikhlaskan Adit. Seseorang yang setiap tanggal 23 Maret selama tiga belas
tahun ia tunggu kedatangannya. Hingga suatu saat ia mendapati dirinya kesakitan
ketika tahu bahwa Adit adalah calon tunangan Serilda. Kesetiaan tidak lantas lenyap
hanya karena waktu. Tidak akan hangus terbakar musim. Meski jarak membentang.
Tidak hanya itu, penulis juga
seolah-olah ingin mengajak pembaca untuk melihat “penantian” dari sudut pandang
lain. Penantian seorang Ibu yang kesakitan karena kekecewaan meninggalkan
anaknya hanya demi kebahagiaannya sendiri. Penantian yang membuatnya merasa
dihukum Tuhan dengan penyakit yang dideritanya. Penantian juga tidak melulu
berbicara soal jarak, seperti Reza yang terus mencintai meski Kiana sulit untuk
membalas. Reza dan Kiana sama-sama hidup dalam penantian, tapi penantian dalam
konteks yang berbeda.
Lalu ketika berbicara tentang
cinta orangtua kepada anaknya, novel ini juga menceritakan betapa tidak adilnya
seorang ayah memperlakukan putri kembarnya dengan tindakan yang berbeda.
Penulis menyampaikan jika seolah-olah salah satu putrinya menderita suatu
penyakit, seorang ayah harusnya menyamaratakan kasih sayang diantara keduanya.
Itulah takdir, manusia tidak bisa menentukan siapa yang diberi indahnya sakit
atau diberi nikmatnya sehat.
Penulis juga mampu menggambarkan
suasana Madrid dengan detail melalui kata-kata sederhana sehingga pembaca merasa
menjadi tokoh yang ikut berpetualang dan berperan dalam cerita. Istilah-istilah
dalam bahasa Belanda pun membuat kesan yang tidak kalah menarik dan memberi
pengetahuan kepada pembaca tentang bahasa Belanda sehari-hari. Penulis juga
piawai dalam menciptakan dan merangkai hal-hal kebetulan yang alurnya tidak
terduga. Membuat penasaran hingga rasanya ingin membaca lagi dan lagi.
Ending ceritanya pun dikemas dalam bentuk yang apik. Memadukan
antara opini, mitos, dan tempat-tempat yang dianggap monumental sebagai jawaban
dari kisah cinta yang kejelasannya masih menggantung. Penantian juga ada
batasnya. Bersekat. Ada tanda bacanya, titik. Bahkan ketika berjalan untuk
mencapai sesuatu hal yang dinanti tersebut kita bisa menemukan sesuatu hal yang
rumit tapi penuh kepastian. Perasaan penuh dengan jawaban. Sebab terkadang
penantian yang lebih condong ke hal terlalu menungggu itu tidak baik, terlalu
itu menipu, terlalu itu menyakiti, terlalu itu buruk.
Novel ini ditulis oleh Sayfullan
yang tetap memiliki ambisi menulis spesial untuk kedua orangtuanya yang sudah
meninggal. Penulis yang mengajak pembaca untuk tetap bersyukur meskipun
ginjalnya tidak berfungsi lagi. Meski konflik cerita kurang memberi sugesti
emosional namun penulis mampu menyajikan amanat dan nilai-nilai kekeluargaan
yang dibungkus dengan kisah remaja yang ringan dan mengalir sehingga menjadi
suatu bacaan yang bagus. Novel yang sangat menarik untuk dibaca karena bisa
menjadi pelajaran dalam hidup.
Wahyu Sekar Sari/13210141050/Bahasa dan
Sastra Indonesia