Aku
duduk sendirian dikursi panjang kusam di depan kelasku. Aku tertunduk dalam dan
berulang kali berdo’a untuk bisa dengan cepat melupakan tragedi itu. Mataku
berkaca-kaca, tapi sungguh. . . aku tak menangis karena ejekan mereka. Ejekan
yang slalu saja membuatku mengerti betapa sakitnya terinjak-injak karena bisa
hadir di dunia ini tanpa kehadiran seorang Ayah. Bukan, bukan itu. Hanya karena
masalah kecil yang ku anggap sebagai perang besar. Tidak ada satu orang
lelakipun yang mau mengakui aku sebagai anak. Dan kau tahu, apa sebutan mereka
untukku,”si anak haram”. Selalu saja tanganku menggengam erat ketika mendengar
ejekan mereka. Tapi harus bagaimana lagi, ini memang fakta dan aku tidak bisa
lari begitu saja dari kenyataan pahit ini. Aku mendongak ke atas, menyejajarkan
pandanganku dengan Savara, si cantik dan ratu gaul di sekolahan. Aku
memandangnya lekat-lekat, membuat jantungku meloncat-loncat karena amarah yang
selalu saja muncul ketika aku mendengar deheman dan senyum ejek mereka. Aku
berusaha menahannya, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menoleh ke arah
kanan untuk bisa membuat Savara terbuang dari pandanganku.
“Ayo teman-teman , jangan
dekat-dekat dengan anak haram!”
Ucap Savira keras sambil menggoyangkan sebagian tubuhku dengan telunjuk
kanannya. Aku hanya diam, tak sedikitpun berniat untuk membalas ejekan itu
walau dengan satu kata sekalipun. Tidak akan ada gunanya.
:)
Hari
minggu yang membosankan. Aku tak sedikitpun mencoba untuk beranjak dari tempat
tidur. . Badanku panas, dan aku kira, aku memang benar-benar sakit. Kepalaku
tiba-tiba saja pusing ketika aku pulang dari sekolah. Pandanganku
perlahan-lahan kabur ketika aku mencoba berdiri. Pintu kamarku tiba-tiba saja
terbuka. Ibu berdiri disana. Membawa sepiring nasi ditangan kanan dan segelas
susu di tangan kirinya. Entahlah, pagi ini tiba-tiba saja aku merasa jika Ibulah
yang menjadi alasanku sakit kali ini. Sebenarnya aku juga tidak mau
mengakuinya. Tetapi? Apa sallahnya aku menanyakan keberadaan Ayah dan pergi
mencarinya, menghentikan ejekan teman-teman dan membuktikan kepada mereka jika
aku bukanlah anak haram yang mereka maksud. Aku menutupi wajahku dengan
ppunggung tanganku, aku dengar lamat-lamat langkah kaki Ibu menghampiriku.
“Kau
sakit?” tanya Ibu lembut kemudian menempelkan punggung tangannya di leherku.
Tetapi aneh, tangan Ibu yang sangat dingin saja terasa panas ketika aku baru
saja mencoba mengumpulakn tekad untuk mencari keberadaan Ayah. Tapi aku tak
tega. Aku pernah menyinggung tentang masalah ini tapi tetap saja Ibu mengatakan
jika Ayah sudah meninggal. Aku yakin itu bohong, karena selalu saja ada tatapan
dan sikap gelisah Ibu ketika aku berucap kata “Ayah”.
“Kau
mau ke dokter?” ucap Ibu lirih, aku hanya menggeleng sekenanya. Dan tiba-tiba
saja aku menangis, aku tak tau kenapa, tetapi setiap kali aku mengingat Ayah,
dalam waktu yang bersamaan aku juga akan melihat bayang Savara di ingatanku.
Aku meringkuk, memendamkan kepalaku di selimut tebal. Aku tak ingin Ibu tahu
jika aku sedang menangis.
“Fara,
ada apa? Kamu menangis?” tanya Ibu.
“Ti.
. . dak. . .” ucapku terbata-bata sambil menahan isak tangis dan berulang kali
mengusap air mataku pelan.
“Jangan
bohong! Kamu fikir Ibu tidak tahu bagaimana gerak kamu menangis. Ayolah Fara,
kamu kenapa?” tanya Ibu lagi sambil menarik pelan selimut yang menutupi
kepalaku.
“Aku
tidak apa-apa Ibu. . .” ucapku pelan.
“Fara,
Ibu tahu kamu punya masalah. Lalu, kepada siapa lagi kamu akan mengadu jika
bukan kepada Ibu,” ucap Ibu lirih dan menarik pelan badanku ke dalam
pelukannya. Tubuhku tiba-tiba saja lemas, Ibu menangis dan tangannya mengelus
lembut rambutku. Jantungku terasa sesak, nafasku tiba-tiba saja berhenti.
Kenapa aku merasa bersalah seperti ini? Bukannya ini mauku, membuat Ibu merasa
bersalah dengan keadaanku sekarang ini.
“Jadi,
maukah kamu menceritakan masalahku kepada Ibu?” ucap Ibu sambil meregangkan
pelukannya.
“Aku.
. . aku. . . aku,” ucapku gagap.
“Kenapa?”
ucap Ibu lagi meyakinkanku.
“Aku
diejek teman-teman,” ucapku lirih dengan airmata yang masih menetes.
“Diejek?
Memangnya apa salahmu?” tanya Ibu lagi sambil membenarkan posisi duduknya. Aku
terdiam, aku tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Jika aku adalah bintang
sekolah yang terkenal karena embel-embel burukku. Ibu. . . Ibu, aku tidak bisa
berterus terang. Aku tidak bias begitu saja memilih untuk jujur atau berbohong.
Tapi aku berubah fikiran, sama sekali aku tidak akan membuat Ibu terluka karena
sikap burukku.
“Fara.
. .” ucap Ibu membuyarkan lamunanku.
“Kenapa?”
sambung Ibu.
“Karena
aku. . . aku. . . aku, jelek dan tidak punya wajah cantik seperti mereka. . .”
ucapku berbohong.
“Fara?
Cuma hal itu kamu menangis. Fara, tatap mata Ibu,” ucap Ibu lagi sambil
mendongakkan kepalaku dengan tangan kanannya agar aku bisa menatap lekat-lekat
kedua bola mata Ibu. Aku mengangguk berarti mengerti.
“Cantik
itu bukan terlihat dari bagaimana bentuk dan ternilai dari tubuhnya, tetapi
cantik itu dilihat dari dalam hati. Kamu mengerti?”
“Benarkah?”
tanyanya sedikit tertarik dengan ucapan Ibu.
“Benar.
Apakah Ibu pernah berbohong? Tidak ada satu orangpun wanita jelek, yang ada
hanyalah wanita yang tidak tahu bagaimana cara dia akan terlihat cantik dengan
kekurangannya itu.”
“Ibu.
. .” ucapku lirih karena terkagum dengan ucapan Ibu. Topik yang sama sekali
tidak ingin aku bicarakan malah bisa membuatku mulai memahami arah hidup ini.
Cantik itu umum, dan aku fikir. . . Savara cantik, tapi entahlah. Aku tidak
berani menilai orang karena aku yakin, jika aku menjadi Savira. Aku akan dengan
bangga bisa tersenyum kepada dunia dan menunjukkan wajahku yang benar-benar terlihat
cantik. Aku hanya memastikan jika memang Savara masih menjadi manusia yang
normal pada umumnya.
“Kamu
pernah berfikir jika kamu tidak cantik,” ucap Ibu seolah tahu apa yang sedang
aku fikirkan.
“Um.
. .” ucapku mengada-ada.
“Ya
sudah. Fikirkan baik-baik. Jangan buat sesuatu hal yang sebenarnya mudah itu
menjadi sulit. . .” ucap Ibu lagi, mengecup keningku kemudian berdiri dan
melangkah pergi meninggalkan kamar. Aku duduk bersandar, apa yang harus aku
lakukan untuk bertemu dengan Ayah? Aku tidak kuat lagi menahan rasa penasaranku
dan menganggap ejekan Savara sebagai angin lalu.
“Ayah,
kau dimana?” ucapku lirih sambil menengkurapkan kepalaku disela-sela lipatan
tanganku.
J
Aku
duduk memunggungi Nata yang sedang duduk dibelakangku. Entah apa yang membuat
hari ini terasa jenuh dimataku. Aku hanya duduk terdiam, menoleh sekilas ketika
aku dengar suara handphoneku. Nama ibu berkedip-kedip disana.
“Fara..”
ucap Nata kearahku. Aku menoleh, memandang aneh kearah Nata.
“Ada
apa?” ucapku lagi.
“Aku
tidak kuat lagi melihat si ratu gaul itu terus saja menghinamu seperti ini?”
ucap Nata dengan suara tergesa-gesa.
“Sial,
memangnya apa yang dia lakukan?”ucapku sambil membalikkan tubuhku kearah Nata.
“Fatin,
si jago basket yang sudah lama kamu suka juga dihasut sama omongan mereka. . .”
tambahnya.
“Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Dia Fatin, dan aku adalah aku.”
“Tapi
dia menjelek-jelekkan mu. . .”
“Aku
tidak perduli Nata. Dia Fatin, anak mantan suami Ibuku yang kesekian kali. Dan semua
sudah berakhir, dia saudaraku dan perasaan kagum itu hanya permainan.”
“Lalu
apa kira-kira respon dari Fatin. . .?”
“Dia
akan mudah mempercayainya,” ucapku ketus.
Aku
berdiri, meninggalkan Nata yang masih saja tertunduk kaku dengan pandangan
kebingungan. Aku tak perduli, dengan cepat dan sigap aku berjalan menuju UKS
dan berniat untuk membolos jam sekolah kali ini. Pikiranku kacau, aku bingung.
Ini semua gara-gara Ibu. Kenapa aku yang harus menanggung karma Ibu? Aku
mematung ketika aku melihat Fatin dan Savara berdiri memenuhi pintu UKS di
seberang koridor. Aku memutar badan, berusaha menghindar dari bantaian makhluk
kejam seperti mereka. Berusaha membutakan mata dan pura-pura menulikan telinga.
Tapi semuanya sia-sia saja, tidak sesuai dengan rencana yang semula.
“Mau
kemana?” ucap Savara singkat menghentikan langkahku. Aku berdiri kaku.
“Udahlah
Savara, biarin dia pergi. Si anak haram?” ucap Fatin lirih tetapi tetap saja
terdengar pedas ditelingaku. Aku menoleh seketika, menatap tajam wajah Fatin
dari kejauhan dan berjalan cepat memutar arah. Kenapa? Kenapa rasa kagum dan
bahagia ketika dekat Fatin kini sudah tidak aku rasakan lagi. Kenapa semuanya
begitu cepat? Kedekatan dan keakraban begitu saja musnah dan tergantikan dengan
permusuhan dan dendam seperti ini. Lagi-lagi ini karena Ibu.
“Fara,
ngaca dong! Ayahku sebenarnya tidak pernah mau punya anak tiri dari hasil
hubungan gelap kaya’ kamu ini. Kamu kira, aku mau jadi saudaramu?” ucap Fatin. Hanya
samar kudengar teriakan itu. Tapi aku yakin, aku tak bisa dengan cepat
melupakan hinaan dari orang yang pernah aku kagumi. Yang pernah aku puja tetapi
ternyata sekarang berbeda dan berubah seratus delapan puluh derajat.
Hanya permusuhan yang akan slalu ada setelah kejadian itu. Ketika aku bertemu
Fatin dipernikahan Ibu dan ternyata Fatin adalah calon saudaraku. Tinggal satu
rumah dengan rasa sungkan. Itu memang mudah untuk Fatin, sedangkan aku. . . aku
pernah menyukainya. Dan pada akhirnya semua ikatan setelah ibu meminta cerai
tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu seratus persen Fatin sudah membenciku.
J
Aku
berjalan tergesa-gesa karena aku inign cepat sampai kerumah. Aku tidak kuat
lagi, aku tak bisa lagi meanhan keinginanku tentang keberadaan Ayah. Dan aku
harus berani mengatakannya. Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamar Ibu
dan mengetuknya perlahan.
“Ibu. . .” sapaku ringan.
Nngggiiikkk pintu terbuka.
“Ada apa sayang?” ucap Ibu tenang
kearahku.
Aku
menangis, aku tidak tau kenapa aku harus menangis seperti ini. Aku menarik
nafas panjang, menormalkan nada dan intonasi baru kemudian menyusun kata-kata.
“Ibu. . .”, sapaku terbata-bata.
“Kenapa? Kok menangis?” ucap Ibu
sambil memapah aku memasuki kamar.
“Ibu, ak. . aku. . . aku ingin bertemu dengan Ayah. . .”
Tiba-tiba
senyum lebar Ibu lenyap. Ibu tertunduk lesu.
“Ibu, aku benar-benar ingin bertemu dengan
Ayah. Apakah aku tidak pantas memanggil Ayahku sendiri dengan sebutan itu. Ibu.
. . ibu. . . aku diejek sama teman-teman?”
“Diejek kenapa?”
“Karena aku anak haram?”
“Haram? Siapa yang berani?” ucap Ibu
sadis.
“Fatin. . .” jawabku singkat.
“Hah. . .?” ucap ibu aneh.
“Iya, Fatin anaknya Om Burhan.
Kenapa sih bu? Kenapa? Sekarang Fatin benci banget sama aku.” Ibu tidak
menjawab, menunduk dalam-dalam dan tidak berani menatap kearahku.
“Kenapa ibu harus nikah sama Om Burhan
kalau nyatanya tidak cocok? Aku korban perasaan bu, Fatin sudah berubah.
Memutar arah dan memusuiku gara-gara Ibu dan Om Burhan cerai.”
“Kamu tidak tahu nak. . .”
“Aku memang tidak tahu ibu, dan Ibu
juga tidak pernah berkata-kata jelas. Tidak pernah bercerita sedikitpun tentang
Ayah. . .” ucapku dengan airmata yang semakin menderas.
“Ayahmu sudah meninggal Fara,” ucap
Ibu sambil membelai sebagian rambutku.
“Tidak, Ibu bohong. Fara tahu, ada
sesuatu hal yang memang Ibu sembunyikan dari Fara.” Teriakku sambil keluar
kamar dan pergi dari rumah.
J
Sudah
beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah. Aku menginap dirumah Nata dan
tidak sedikitpun menghubungi Ibu. Aku tidak berangkat sekolah, hanya duduk terdiam
dikamar Nata dan menunggui pulang. Pikiranku kosong, aku sama sekali tidak tau
apa yang harus aku lakukan setelkah ini. Aku membaringkan tubuh diranjang Nata.
Sudah jam dua siang. Sebentar lagi Nata akan pulang, tiba-tiba saja aku
mendengar suara motor mendekati rumah. Itu suara, itu suara motor Fa. . .
Fatin, aku bergegas membuka
tirai jendela untuk memastikan. Mataku membelalak lebar ketika aku melihat
Fatin ada disana. Berdiri dibelakang Nata dan mengikuti langkah Nata memasuki
rumah. Aku gelisah, berulang kali aku menunduk untuk berdo’a. Aku memulih untuk
mengunci pintu kamar dan aku duduk membelakangi pintu, mengupayakan tubuhku
akan dengan sigap menahan pintu dibnuka secara paksa oleh Fatin ataupun Nata.
Tik. . tok. . . tok, suara ketukan pintu
terdengar jeals saat aku menempelkan telingaku dipermukaan pintu.
“Fara. . . Fara. . ..” sapa Nata.
Aku diam, tidak berusaha menjawab sapaan Nata.
“Fara, ini kau Fatin. Aku Cuma mau
jemput kamuaja. Ayahku baru saja telfon dan katanya ibumu kecelakan. Kamu harus
cepat datang kesana karena Ibumu sangat membutuhkan kehadiranmu disampingnya. .
.” ucap Fatin dengan suara keras. Jantingku berdetak hebat, seketika aku
meanangis. Aku tidak bisa membayangkan jika Ibu. . . jika Ibu. . Tidak, itu
tidak mungkin terjadi. Aku tergesa-gesa membuka pintu, tubuhku seketika terasa
lemas, dan mataku berkunag-kunang. Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan aku
akan cepat bangun dari kejadian tragis yang menimpa Ibu. Jika bisa, aku juga
akan memutar waktu kembali dan tidak akan membaut Ibu cemas seperti sekarang
ini. Kutatap Fatin yang berdiri tepat didepanku,
“Bohong,
aku tahu kamu membenciku. . . tapi kumohon, jangan pernah kamu bawa betrita
buruk tentang Ibu. . .” ucapku keras, berusaha menyembunyikan air mataku yang
tidak bisa aku bendung lagi.
“Ayo ikut aku. . .” ucap Fatin
sambil menarik tangan kananku, seakan tidak memperdulihan teriakan keraasku
barusan. Aku hanya menurut dan tak berkomentar apa-pa karena tenagaku sudah
habis untuk memberontak.
Di rumah sakit
Om
Burhan sudah duduk tenag disamping ranjang Ibu ketika aku dan Fatin memasuki
kamar rawat. Aku tidak bisa menahan tangis ketika aku melihat Ibu terkulai
lemas diatas ranjang.
“Fara. . .”y ucap Ibu lirih menatap
tepat kearahku.
“Ibu. . .” jawabku sambil berlari
dan memeluk Ibu.
“Maafkan aku Ibu, maafkan aku. . .”
ucapku dengan isakkan tangis.
“Kenapa? Ibu tidak marah. Itu wajar
Fara, kamu sudah dewasa dan kamu butuh openjelasan tentang keberadaan Ayahmu.
Om Burhan akan menjelaskannya,” ucap Ibu sambil menoleh kearah Om Burhan. Seketika
aku langsung menoleh kearah Om Burhan, menunggu respon dan penjelasan darinya.
“Tapi aku kira, aku sudah perduli
dengan masalah itu. . .” ucapku berbohong.
“Begini. . .” ucap Om Burhan memulai
pembicaraan.
“Fara, Fatin kenapa kalian harus bermusuhan?
Bagaimanapun juga aklian bersaudara. Fara, sebenarnya kamu terlahir karena
ibumu diperkosa. . .”
“Hah?” ucapku sambil menutupi
sebagian mulutku yang menganga. Aku tidak percaya.
“Dan aku Ibumu memang saling
menyukai sejak dulu. Sebelum ada kejadian tragis itu. Walau pada akhirnya Ibumu
sudah hamil. Kamu beruntung Fara, alasan ibumu tidak jadi bunuh diri itu karena
kamu. Karena awalnya Ibumu tidak mau kamu lahir tanpa siapa-siapa, jadi Ibumu
kemudian memilih utnuk tetap mempertahankanmu hingga sekarang. Dan tentang
perceraian itu. . .” ucap Om Burhan menarik nafas dalam-dalam, menoleh kearah
Fatin yang berdiri lemah menyandar didinding.
“Ibumu meminta perceraian ini
terjadi karena ibumu tahu, kau meyukai Fatin. Anak angkat Om Burhan. . .” Fatin
mendingak kaget, menatap mataku lekat-klekat setelah aku menoleh kearahnya.
“Dan kamu Fatin, relakan perceraian
ini dan berhentilah menyalahkan Fara. .” ucap Om Burhan lirih. Fatin bergerak
cepat,
“Sepertinya aku harus pergi,” ucap
Fatin kemudian berjalan keluar ruangan. Aku tidak bisa apa-apa lagi, menangis
didalam pelukan Ibu membuatku semakin merasa tekan.
“Maafkan aku Ibu. . .” ucapku lagi.
“Ibu tahu Fara, penjelasan yang kamu
butuhkan.”
“Terima kasih Ibu. Entah apa yang
harus aku lakukan tanpa Ibu. Terima kasih karena Ibu sudah membesarkanku dan
tetap mempertahankanku. Dan Fara juga tidak tahu dengan cara apa lagi bisa
membalas budi baik Ibu. . .”
“Hanya senyumanmu yang bisa membuat
Ibu seolah bisa melupakan semuanya. . .”
“Tetapi Fatin. . .” ucapku sambil
menoleh kearah Om Burhan.
“Fatin. Jangan khawatir dengan anak
itu. Semuanya akan baik-baik saja.” Ucap Om Burhan mendekati aku dan Ibu,
meregangkan tangannyaa dibahuku.
“Terimakasih. . .”
Nnndddrreeetttt
nndderrreetttt
Fara,
aku tidak tahu tentang perasaanmu
Jadi
aku harap kamu bisa memafkanku
Saudaraku
Sender
Fatin
08765433xxx
“Dari Fatin. ..” ucapku singkat
setelaah membaca SMS itu.
“Benarkan, dia baik-baik saja. .
.”ucap Om Burhan sambil mengangguk kecil.
Terimakasih Ibuku. Mungkin, aku tidak akan pernah
hadir di dunia ini tanpamu.