"Sebab dalam agama mana pun, kebaikan dan kebajikan yang diajarkan. Bahkan dalam peribadatan bentuk apapun, pasti memiliki tujuan yang sama; mendekatkan diri kepada Tuhan yang kita percayai, di hati.
July 20, 2014 at 10:13am
Oleh FAHD PAHDEPIE
Azalea, belakangan ini, banyak orang yang menghina
Muhammad. Mereka menyerupakannya dengan gambar-gambar yang buruk, bahkan
beberapa yang lain menghinanya dengan menggambar wajah Sang Nabi seperti hewan.
Sungguh, aku tak mengerti. Mengapa mereka memiliki persepsi yang buruk tentang
Muhammad? Sisi mana yang harus mereka benci dari Muhammad? Aku sungguh tak
mengerti. Sejauh yang aku baca dan pelajari tentang Muhammad, sedikit pun tak
ada celah alasan untuk membenci dan menghinanya.
Azalea, aku jadi curiga, jangan-jangan yang membuat Muhammad terhina justru bukan karena sikap dan perangainya sendiri, melaiankan sikap-sikap pengikutnya yang sebenarnya perlu dipertanyakan lagi apakah mereka mengenal Muhammad dengan baik atau tidak. Paling tidak, cara mereka “membaca” Muhammad, barangkali perlu dipertanyakan lagi.
***
Azalea, entah mengapa aku tidak bisa menahan diriku
sendiri untuk tidak menceritakan kisah ini padamu. Ada yang harus kau ketahui
tentang Muhammad—sifat dan perangainya: Mencuri hatiku!
Di sudut pasar kota Madinah, ada seorang pengemis buta
beragama Yahudi yang setiap hari selalu berkata kepada setiap orang yang
mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad! Dia itu orang gila,
pembohong, tukang sihir! Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan
dipengaruhi olehnya! Dia penakluk pikiran yang ulung, banyak saudara-saudara
kita yang lain telah disesatkan olehnya!” Tubuhnya renta. Matanya nyalang.
Kepalanya bergerak-gerak. Dan mulutnya tak pernah berhenti mengutuk Muhammad.
Bagi pengemis itu, Muhammadlah satu-satunya orang yang
ingin ia benci sampai mati. Tak ada yang lain. Setiap hari, ia menyumpahi
Muhammad, mengutuknya, membrudalkan kebenciannya yang buta.
Namun, tahukah kau, Azalea, sesungguhnya setiap pagi Muhammad mendatanginya dan membawakannya makanan. Tanpa berucap sepatah kata pun Sang Nabi menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu. Bahkan, tak jarang Muhammad menghaluskan makanan yang dibawanya dengan mulutnya sendiri, lalu menyuapi pengemis buta yang renta itu dengan lembut.
Si Pengemis amat menyayangi lelaki baik hati yang
mendatanginya setiap hari. Meskipun ia tak pernah melihat sosoknya, Si Pengemis
tahu bahwa lelaki yang setiap hari mendatanginya dan memberinya makanan adalah
lelaki lembut yang sangat baik hati. Ia bisa merasakannya—jauh sampai ke
hatinya.
“Saudaraku, berhati-hatilah pada Muhammad. Dia itu
pembohong, orang gila, tukang sihir!” Kata Si Pengemis Buta pada Muhammad yang
sedang menyuapinya.
Sang Nabi diam saja. Ia mengelus-elus pundak pengemis
tua itu. Si Pengemis tersenyum sambil menggerak-gerakkan kepalanya, mencari
wajah lelaki baik hati yang begitu tulus membawakan makanan dan menyuapinya
setiap hari.
***
Hingga suatu hari, kabar bahwa Muhammad telah wafat tersebar
ke setiap sudut kota Madinah.
Di sudut pasar, Si Pengemis yang mendengar kabar
kematian Muhammad, senang bukan kepalang. Ia tertawa karena orang yang sangat
ia benci telah mati. Tapi, di saat yang bersamaan, ia kehilangan lelaki baik
hati yang mendatanginya setiap hari—membawakannya makanan dan menyuapinya.
Hingga senja ia menunggu lelaki itu datang, ia tak sabar ingin menceritakan
kabar gembira ini padanya, “Muhammad telah mati”, batin pengemis tua
itu. Sejak pagi, ia tak henti-hentinya tersenyum.
Beberapa hari berlalu, Azalea. Si Pengemis benar-benar
merasa kehilangan sosok baik hati yang begitu mengasihinya selama ini. Setiap
hari ia menunggu, detik-detik berguguran, tetapi lelaki baik hati itu tak juga
datang.
***
Suatu hari sahabat terdekat Sang Nabi, Abu Bakar,
berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah, yang merupakan isteri Muhammad. Abu Bakar
bertanya kepada putrinya, “Anakku, aku berusaha mengikuti segala sifat dan
perilaku baik Rasulullah, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”
Aisyah mengangguk perlahan, ditatapnya Ayahnya dengan penuh perasaan, “Ayah, engkau adalah seorang sahabat terdekat Rasulullah, kau mengikuti semua yang Rasulullah contohkan. Namun, ada satu kebiasaannya yang belum pernah engkau lakukan.”
Aisyah mengangguk perlahan, ditatapnya Ayahnya dengan penuh perasaan, “Ayah, engkau adalah seorang sahabat terdekat Rasulullah, kau mengikuti semua yang Rasulullah contohkan. Namun, ada satu kebiasaannya yang belum pernah engkau lakukan.”
Abu Bakar sangat ingin tahu kebiasaan Muhammad, yang
dimaksud putrinya, “Apakah itu, putriku?"
“Ayah, setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke salah
satu sudut pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi
yang ada di sana,” kata Aisyah.
Abu Bakar mengangguk. Ia mengerti.
Abu Bakar mengangguk. Ia mengerti.
***
Keesokan harinya, Abu Bakar melaksanakan apa yang
dikatakan putrinya. Dengan sangat bersemangat, ia pergi ke pasar dengan membawa
makanan untuk diberikan kepada Si Pengemis yang diceritakan Aisyah kepadanya.
Abu Bakar mendatangi pengemis itu. Tanpa basa-basi, ia
langsung memberikan makanan yang ia bawa kepada Si Pengemis.
“Siapa kau?” Kata Si Pengemis penuh curiga. Kepalanya
bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang baru saja memberinya makanan.
“Aku orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar.
Ini kali pertama Si Pengemis mendengar suara lelaki
yang biasa mendatanginya. Batinnya, benarkah ini lelaki yang sedang
kutunggu-tunggu? Ia mempertajam rasanya, tetapi ia merasakan keanehan.
“Mengapa kau tak duduk dan menyuapiku?” Kata Si Pengemis.
Abu Bakar mulai mengerti bahwa Muhammad selalu duduk
di samping pengemis ini lalu menyuapinya. Ada getar yang menyelinap di hatinya.
Muhammad, sosok itu tiba-tiba terbayang di benak Abu Bakar, lelaki dengan budi
pekerti yang sungguh mulia. Lalu, Abu Bakar duduk di samping Si Pengemis dan
mulai menyuapi.
“Siapa kau?” Kata Si Pengemis sekali lagi, kali ini
dengan nada yang lebih tinggi. Ia menepis tangan Abu Bakar yang ingin
menyuapinya.
“Aku orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar
sekali lagi. Ada getar di ujung suaranya.
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!”
Bantah Si Pengemis. Kepalanya bergerak-gerak. “Kau bukan orang itu. Sebab
apabila ia datang kepadaku, tidak akan susah tangan ini memegang dan tidak akan
susah mulut ini mengunyah. Orang yang setiap hari mendatangiku akan duduk
bersimpuh di sampingku, lalu ia mulai menyuapiku setelah terlebih dahulu ia
haluskan makanan yang ia bawa untukku,” Si Pengemis menjelaskan semuanya.
Mendengar kata-kata Si Pengemis, Abu Bakar tak bisa
menahan air matanya lagi. “Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu,”
kata Abu Bakar sambil terisak, “aku hanyalah salah seorang dari sahabatnya.
Orang yang sangat mulia itu telah pergi, ia telah tiada. Dialah Muhammad
Rasulullah.”
Mendengar kata-kata terakhir Abu Bakar, Si Pengemis
merasakan sesuatu tiba-tiba seolah menghantam dadanya dengan sangat keras.
Ingatannya kembali pada saat-saat seseorang yang sangat lembut dan penuh kasih
itu biasa mendatanginya, memberikannya makanan dan menyuapinya setiap hari. Diakah
Muhammad? Dadanya tiba-tiba menjadi sangat lemah. Ia mulai mendapati air
mata meleleh di tebing pipinya. Diakah Muhammad yang setiap hari aku
caci-maki dengan penuh kebencian? Katanya dalam hati.
“Benarkah demikian?” Suara Si Pengemis begitu lemah
dengan tenggorokan bergetar, “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya,
menyebutnya penyihir dan orang gila, tetapi ia tak pernah memarahiku
sedikitpun. Ia hanya diam dan mengelus pundakku dengan lembut. Setiap hari, ia
datang dan duduk di sampingku, menghaluskan makananku, menyuapiku dengan
tangannya sendiri, lalu ia pergi. Benarkah lelaki yang sangat lembut dan mulia
ini adalah Muhammad?”
Si Pengemis tak sanggup menahan tangisnya. Abu Bakar
sekali lagi meyakinkannya. “Ya,” kata Abu Bakar, ia mengangguk pelan. Si
Pengemis mulai faham mengapa pada saat Muhammad dikabarkan wafat, lelaki baik
hati itu tak pernah datang lagi. “Oh Muhammad”, batinnya, tiba-tiba
kesunyian mulai meranggas di hatinya yang penuh kebencian. Ada rindu yang
tertahan, “Oh Muhammad”, batinnya. Si Pengemis tak sanggup membendung
air matanya.
“Sungguh, Muhammad adalah lelaki yang sangat mulia. Tuan, tolong antarkan aku ke pusaranya,” Kata Si Pengemis pada Abu Bakar. Kepalanya bergerak-gerak. Air mata masih membasahi pipinya.
Mendengar kata-kata Si Pengemis Buta, Abu Bakar
benar-benar terpesona. Seketika bayangan Muhammad Sang Nabi melintas lagi di
benaknya—ia mengenang lelaki dengan sifat dan perangai mulia itu, Muhammad,
yang sanggup melumpuhkan kebencian dengan kasih sayang.
Di depan pusara Sang Nabi, Abu Bakar dan Pengemis Buta
Yahudi berdiri termangu. Keduanya diliputi kesedihan luar biasa. Angin lembut
menerpa wajah mereka berdua yang basah oleh air mata.
“Tuan,” bisik Si Pengemis Yahudi, “Aku akan menjadi
pengikut Muhammad,” katanya.
Bibir Abu Bakar bergetar. Ada gemuruh yang tak bisa ia
tahan di dadanya.
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah… dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Gumam pengemis buta itu.
***
Azalea, membaca kisah itu, aku merasakan bagaimana
ketulusan dan kebaikan Muhammad yang penuh kasih bisa mengalahkan kebencian
yang paling bebal sekalipun. Muhammad, Muhammad, Muhammad, tiga kali aku
menyebut namanya, Azalea. Seperti seseorang yang jatuh cinta pada pahlawan
kebenaran dalam film super-hero setelah layar bioskop dimatikan.
Azalea, meskipun banyak sumber yang mempertanyakan
kebenaran kisah ini, aku tak bisa menolak getar yang ditimbulkannya. Getar
kebaikan. Sesuatu yang hanya bisa kau rasakan dengan hati… Sungguh, aku tak
pernah peduli dari mana sebuah kisah berasal. Aku hanya merasakan getarnya…
Azalea, dari manapun kisah itu berasal, siapapun yang
menceritakannya, sungguh, kebaikan tak bisa aku tolak.
Azalea, aku jadi bertanya-tanya, bila pengikut
Muhammad kini jadi demikian keras dan dengan mudah mengafirkan bahkan
menyesatkan pihak-pihak lainnya, sesungguhnya bagaimanakan cara mereka membaca
jejak-jejak Muhammad yang indah? Bagaimanakah mereka memahami perangai Sang
Nabi? Aku tak bisa mengerti, Azalea. Aku tak bisa mengerti.
Azalea, semoga kau baik-baik saja.
(Diambil dari bagian ke-28 buku Seribu Malam Untuk
Muhammad, 2013)
Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne. Dapat ditemui di twitter @fahdisme.
"Pernah kau jatuh cinta? jatuh cinta pada tempat yang tepat. Disana, kau akan menemui jalan yang bahkan belum pernah terlintas dalam benakmu. Dia senantiasa mengajakmu, melihat apa-apa yang bahkan belum pernah ditemui oleh matamu."
Salam,
Wahyu Sekar Sari
0 komentar:
Posting Komentar