BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kekayaan warisan budaya nenek moyang di Indonedia
yang diinventarisasikan dan didokumentasikan secara baik akan membangkitkan
kebanggaan nasional pada generasi muda terhadap kebudayaan bangsa sendiri.
Warisan tersebut salah satunya ialah adat perkawinan. Adat perkawinan ialah
segala adat kebiasaan yang dilazimkan dalam suatu masyarakat untuk mengatur
masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan. Adat dan upacara perkawinan
memiliki kaitan dengan keadaan yang sedang berkembang dan bersinggungan erat
dengan masalah perkawinan.
Suku bangsa Sunda yang menempati sebagian besar Jawa
Barat, masih terdiri dari beberapa sub kelompok etnis yang dalam beberapa hal
akan mempunyai perbedaan di dalam hal kebudayaan, persamaan-persamaan terletak
dalam bahasa sedangkan perbedaannya hanya bersifat variasi saja terlihat pada
masalah kebudayaan yang terdapat di adat dan upacara perkawinan.
Masalah-masalah itu akan timbul sebelum ataupun sesuadah suatu perkawinan
dilaksanakan. Masalah yang timbul sebelum perkawinan disebut adat sebelum
perkawinan, sedangkan yang sesudah perkawinan disebut adat sesudah perkawinan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam makalah
ini akan dibahas lebih terperinci mengenai masalah-masalah adat dan upacara perkawinan
daerah Jawa Barat yang sebagian besar penduduknya merupakan suku Sunda. Masalah
adat sebelum perkawinan diantaranya tujuan perkawinan menurut adat, perkawinan
ideal, pembatasan jodoh, bentuk-bentuk perkawinan, syarat-syarat untuk kawin,
dan cara memilih jodoh. Sedangkan masalah adat sesudah perkawinan meliputi adat
menetap sesudah kawin, mengenai perceraian dan kawin ulang, hukum waris,
poligami, hal anak dan hubungan kekerabatan antara menantu dengan keluarga
isteri atau suami.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pola perkawinan Sunda dilihat dari latar belakang kebudayaan yang berkembang di
daerah tersebut?
2. Masalah-masalah
apa saja yang berkaitan dengan adat dan upacara perkawinan daerah Jawa Barat
yang sebagian besar penduduknya merupakan suku Sunda?
C.
Tujuan
1. Mengidentifikasi
pola perkawinan Sunda dilihat dari latar belakang kebudayaan yang sedang
berkembang.
2. Mendeskripsikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan adat dan upacara perkawinan daerah Jawa
Barat yang sebagian penduduknya merupakan suku Sunda meliputi upacara sebelum
perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan, upacara sesudah perkawinan, dan
adat sesudah perkawinan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pola Perkawinan Sunda
Pola perkawinan Sunda pada umumnya seragam
dimana-mana karena didorong semangat nostalgia orang Sunda, dimana-mana pun
berada biasanya mengusahakan dengan meminta bantuan sesepuh yang tahu untuk
mempergunakan pola yang standar atau seragam dengan yang lainnya. Lebih-lebih
lagi, perhubungan di Sunda memungkinkan kelancaran saling informasi untuk
mencapai keseragaman. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain, jaringan lalu
lintas dan komunikasi lainnya di Jawa Barat termasuk kategori baik, artinya
hamper semua pelosok terjamah oleh imbasan teknologi. Oleh karena itu, pola
adat umumnya mencapai keseragaman.
Sebagian besar penduduk Jawa Barat adalah suku
bangsa Sunda yang memiliki bahasa sendiri yang memproyeksikan seni sastra sejak
lama. Bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibu sebagian besar penduduk Jawa Barat
termasuk ke dalam golongan bahasa afiksasi, bukan bahasa fleksi. Artinya
perubahan kata sangat menentukan arti. Imbuhan dalam bahasa Sunda meliputi rarangken hareup (awalan), rarangken tengah (sisipan) dan rarangken tukang (akhiran) disertai
letak (urutan) kata sangat berperanan dan menentukan arti.
Contoh penggunaan kata dasar serat atau tulis yang diterapkan dalam imbuhan bahasa Sunda, nyerat = menulis, sinerat = ditulis, seratkeun
= tuliskan dan sebagainya. Untuk memperlihatkan kemungkinan banyaknya jumlah
imbuhan yang dipasangkan terhadap sebuah kata dapat dilihat pada contoh
berikut: kata dasar asih diberi
imbuhan menjadi diasih, dipiasih,
dipikaasih, pangdipikaasih, pangdipikaasihna.
Dalam bahasa Sansekerta, Sunda (akar kata) artinya
bersinar, terang. Dalam bahasa Kawi, Sunda, artinya air, tumpukan, pangkat,
waspada. Dalam bahasa Jawa, suunda artinya susun (menyusun) berganda, kata atau
suara berulang. Dalam bahasa Sunda, Sunda artinya bagus, indah, cantik, unggul,
menyenangkan. Dari sekian banyak macam kebudayaan Sunda, sebagai contoh dalam
upacara perkawinan orang-orang Sunda dewasa ini antara lain:
Kawin
harus disetujui orang tua, pada selamatannya memakai bakar kemenyan dan sajian
kepada arwah leluhur. Kawin berlangsung dengan mengucapkan sahadat dan pakai
khotbah pernikahan ala Islam.
Kawin
berpakaian kain panjang, tak berbaju (buligir) dan berkuluk, atau berpakaian
seperti wayang wong ala Jawa Tengah.
Pada
selamatan diadakan pemberian ucapan selamat dengan macam-mcama kado (cadeau)
dan hidangan makan parasmanan ala Barat (Belanda).
Perkawinan
disahkan oleh Undang-undang Perkawinan dari pemerintah Republik Indonesia.
Dalam
hal perjodohan tidak ada penghalang yang berarti. Bahkan terdapat keadaan
saling mengerti antara pria dan wanita serta antara kedua pihak orangtua mereka
masing-masing maka perjodohan itu akan berlangsung dengan baik. Umumnya tak ada
tabu atau pantangan yang jelas dalam garis-garis tertentu. Umumnya dalam hal
mencari jodoh tidak begitu diutamakan soal keturunan asalkan kedua pihak saling
cinta-mencintai dan bersepakat hendak hidup bersama dalam membangung rumah
tangga.
Di dalam upacara perkawinan
dilaksanakan berbagai selamatan dan tindakan tertentu yang mengingatkan pada
kepercayaan asli (berkaitan dengan sistem religi). Selamatan atau “sedekahan”
disebut ngarewahkeun yang maksudnya menghubungkan diri dengan arwah-arwah
leluhur serta orang tua yang telah wafat. Mohon ijin untuk melakukan suatu
pekerjaan, mohon berkat dan perlindungan agar memperoleh selamat, kebahagiaan
serta terhindar dari marabahaya. Itulah sebabnya mengapa kedua calon mempelai
dianjurkan untuk berjiarah ke makam leluhurnya masing-masing.
Dalam mencarikan jodoh untuk
anak-anaknya, orang Sunda dahulu sudah mengenal system hitung-hitungan.
Maksudnya untuk mencari keselamatan dan kebahagiaan perjodohan. Pada mereka
terkenal kitab-kitabnya, yang lazim dinamakan paririmbon yang berisikan macam-macam catatan dan metode-metode
perhitungan cara nenek moyang mereka seperti perbintangan, alamat-alamat, dan
lain-lain.
Ada
bulan yang dijadikan pantangan untuk perkawinan dan ada bulan-bulan untuk
melangsungkan perkawinan. Ini lazim dinamakan itungan laki-rabi, yaitu
perhitungan
suami-isteri atau neang-repok. Dalam paririmbon juga terdapat daftar urutan
tanggal dalam sebulan yang dinamakan Poe
hade keur sagala gawe (hari baik untuk segala pekerjaan).
Alphabet
Sunda dinamakan cacarakan, terdiri
atas 18 aksara (dengan huruf latin jadi huruf mati), masing-masing mempunyai
nilai dengan angka, dinamakan naktu.
Urutannya sebagai berikut (6,74-76)
h = 5, n = 3, c = 3, r = 3, k = 3, d = 4, t = 3, s =
3, w = 6, l = 4, p = 1, j = 3, y = 9, ny = 3, m = 5, g = 4, b = 2, ng = 1, ng =
1.
(semua huruf hidup sebuah suku kata sama dengan h).
Untuk mengetahui baik buruknya perjodohan, jumlah
huruf mati tiap sukukata kedua nama bakal penganten dibagi tujuh. Sisanya
dijadikan ketentuan untuk mengetahui akan baik-buruknya dalam perjodohan
mereka.
Suku
bangsa Sunda juga memiliki peralatan yang biasanya digunakan dalam upacara
perjamuan, pesta dan sebagainya meliputi berbagai-bagai alat perkakas,
perbekalan, dan peralatan.
Istilah
|
Arti
|
Makna
leksikal
|
Makna
gramatikal
|
Referen
|
Balandongan
|
Tempat
luas dengan meja-meja dan kursi-kursinya tempat meletakkan makanan dan minuman
|
Balandongan
: tempat luas seperti aula
|
Balandong
+ an. Terbentuk dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
ngeuyeuk
seureuh
|
Sirih
yang masih melekat pada rantingnya atau seikat sirih yang lembarannya sudah
disusun.
|
Ngeuyeuk
: terikat
Seureuh
: daun sirih
|
Kalimat
majemuk. Terdiri
dari frasa yang membentuk kalimat
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Gumeuleuh
|
Setandan
buah pinang muda yang isinya masih seperti ingus
|
Gumeuleuh
: setandan buah pinang
|
Me
+ geuleuh. Terbentuk dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Kasang jinem
|
Kain
yang panjangnya beberapa meter hasil tenunan tangan biasanya berwarna merah
kegelap-gelapan
|
Kasang
: kain
Jinem
: tenunan
|
Kalimat
majemuk. Terdiri
dari frasa yang membentuk kalimat
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Pakara
|
Alat
tenun asli selengkapnya bagian-bagian mempunyai jumlah sekitar 20 nama
|
Pakara
: alat tenun
|
Pakara.
Terdiri dari kata dasar
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Tunjangan
|
Sebilah
kayu tipis panjang tempat menunjangkan kaki perempuan penenun
|
Tunjangan
: menunjang kaki penenun
|
Tunjang
+ an. Terbentuk dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Elekan
|
Penenunan
yang digunakan untuk menggulung kain berupa sepotong bamboo lapis yang tidak
bebuku kira-kira sebesar empu jari kaki
|
Elekan
: alat yang digunakan untuk menggulung kain tenun
|
Elek
+ an. Terbentuk dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Rambu
|
Benang
tenun pendek-pendek
|
Rambu
: benang tenun
|
Rambu.
Terdiri dari kata dasar
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Ajug
|
Palita
bertiang bersumbu 7 buah yang menggunakan minyak kelentik berasal dari kelapa
hijau
|
Ajug
: palita bertiang
|
Ajug.
Terdiri dari kata dasar
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Bokor
|
Wadah
yang berisi beras putih, irisan kunyit, bunga-bungaan, uang yang
diperuntukkan pada upacara nyawer
|
Bokor
: wadah yang tebuat dari perunggu
|
Bokor.
Terdiri dari kata dasar
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Parukuyan
|
Seperti
pedupaan tempat membakar kemenyan atau dupa
|
Parukuyan
: tempat membakar menyan
|
Paruku
+ an. Terbentuk dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Huap ingkung
|
Seekor
ayam panggang yang dadanya dibelah dan dikembangkan diatas piring, nasi
sepiring, dan lauk pauk, air, kue-kue
|
Huap
: uap
Ingkung
: ayam yang dipanggang yang dibelah dadanya
|
Kalimat
majemuk. Terdiri
dari frasa yang membentuk kalimat
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
B.
ADAT PERKAWINAN JAWA BARAT
1. Adat
Sebelum Perkawinan
Orang tua yang mempunyai anak sudah dewasa, baik gadis
maupun bujang, pertama-tama orang tua mencarikan jodoh untuk anaknya di
kalangan kerabat sendiri. Kalau seumpama lingkungan kerabat sendiri tidak
dijumpai calon jodohnya, baru dicari di luar kalangan kerabat sendiri yang
memiliki lingkungan “sakupu” yang
artinya sederajat atau “sabeusi”
artinya seimbang kekayaan dan kemampuannya.
Di kalangan masyarakat Sunda ada ungkapan turun-temurun
bahwa seorang gadis yang tidak mau kawin, bilamana sampai ajalnya akan menjadi siit semacam binatang yang sampai
sekarang belum diperoleh keterangan yang jelas. Sehingga muncul perkataan kajeun paeh jadi siit (biar jadi siit)
bagi gadis yang membangkang tidak mau kawin terutama karena tidak dikawinkan
dengan lelaki pilihannya dan perkataan kawin
soteh tamba paeh jadi siit (mau kawin sekedar jangan mati jadi siit)
diucapkan oleh gadis yang mau kawin karena terpaksa.
Orang Sunda memiliki warisan kepercayaan bahwa
kakak-beradik yang harus kawin terlebih dahulu adalah kakaknya sehingga timbul kepamalian atau larangan tidak boleh
adik mendahului kakak baik perempuan atau laki-laki. Apabila adik ingin segera
menikah, maka kakak harus dipaksa menikah dahulu melalui kawin tambakarung atau kawin yang tidak
memikirkan cinta mesra sehingga harus mencari wanita yang rela dijadikan layan kawin yang bisa dicerai kapanpun
dan dinikahkan dengan akad nikah saja.
2. Upacara
Perkawinan
a.
Upacara sebelum perkawinan
Istilah
|
Arti
|
Makna
Leksikal
|
Makna
Gramatikal
|
Referen
|
Neundeun
omong
|
Titip
ucap mengadakan perjanjian. Orang tua jejaka datang kepada orang tua gadis
idaman anaknya, baik datang sendiri maupun dengan utusan yang pandai bicara
dan paham soal adat dan sopan santun
|
Neundeun
: menaruh,menyimpan
Omong:
cakap, bicara
|
Kalimat
majemuk, terdiri
dari frasa yang membentuk kalimat
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
hahadean
|
Baik-baikan.
Kedua belah pihal saling mengawasi akan kehidupan, keadaan, tingkah laku dan
selalu menjaga hubungan sebaik-baiknya
|
Hade : baik
Hahadean
: baik-baikan
|
Ha
+ hade + an , terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan
|
beubereuh
|
Sebutan
kepada jejaka. Digunakan untuk memanggil jejaka calon mempelai laki-laki oleh
gadisnya yang digunakan sampai melamar.
|
Beubereuh
: panggilan/ sebutan kepada jejaka
|
Be
+ bereuh. Terdiri dari proses afiksasi.
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Bebene
|
Sebutan
kepada gadis. Digunakan untuk memanggil gadis calon mempelai peermpuan oleh
laki-lakinya yang digunakan sampai melamar.
|
Bebene
: panggilan/ sebutan kepada gadis
|
Be
+ bene. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Ngelamar/
nyeureuhan
|
Melembar.
Menyerahkan lembaran sirih disertai ramuan yang dilakukan oleh pihak orang
tua laki-laki kepada orang tua gadis.
|
Lamar
: lembar
Seureuh
: sirih atau member sirih
|
Nge
+ lamar. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
nanyaan
|
Meminang.
Si Pelamar meminta anak gadis dari orangtuanya bertanya tentang kesediaan
dinikahi.
|
Nanya
: tanya, bertanya-tanya
|
Nanya
+ an. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Lepit
|
Lipatan
sirih yang disampaikan waktu meminang
|
Lepit
: lipatan
|
Lepit
. Terdiri dari kata dasar
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
panyangcang
|
Pengikat
gadis dan laki-laki. Pelamar menyerahkan uang sebagai tanda bahwa si gadis
telah terikat, tidak bebas lagi, dan sudah ditunangkan.
|
Panyangcang
: pengikat/ penambat
|
Pa
+ nyancang. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
papacangan
|
Kebebasan
setelah masa tunangan. Pergaulan gadis dan laki-laki diperlonggar meskipun
tetap dalam pengawasan orang tua untuk menentukan kecocokan sebelum adanya
pernikahan.
|
Papacangan
: untuk-untukan
|
Pa
+ pacing +an. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
seserahan
|
Penyerahan
mempelai. Menyerahkan si bujang calon pengantin laki-laki kepada calon
mertuanya untuk dikawinkan dengan si gadis
|
Seserahan
: menyerahkan/ memasrahkan
|
Se
+ serah + an. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Dipingit
|
Gadis
tidak boleh keluar rumah. Si gadis tidak boleh keluar rumah dan setiap pagi
sore tubuhnya dilulur penganten agar telihat berseri.
|
Dipingit
: tidak boleh keluar rumah
|
Di + pingit. Terdiri dari proses afiksasi
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Ngeuyeuk
seureuh
|
Memakan
sirih. Upacara dengan mengerjakan dan mengatur sirih serta
mengait-ngatikan yang dipimpin oleh
wanita yang sudah berumur menggunakan sirih serta ramuan, alat tenun, pelita/
miinyak, lumping, telur ayam.
|
Ngeuyeuk/
heuyeuk: mengatur/ mengurus/ mengerjakan/ berkait-kaitan
|
Kalimat
majemuk
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Seureuh
tangkayan
|
Ranting-ranting
sirih. Beberapa sirih yang masih melekat diranting yang digunakan dalam
upacara
|
Seureuh
: sirih
Tangkayan
: ranting
|
Kalimat
majemuk
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
Mayang
pinang
|
Bunga
pinang. Bunga pinang yang masih terbungkus dalamseludangnya (belum mekar),
yang berwarna kuning.
|
Mayang
: bunga
Pinang
: pinang
|
Kalimat
majemuk
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Pakara
|
Alat
tenun yang digunakan dengan tangan. Alat tenun asli selengkapnya, mempunyai
jumlah sekitar 20 nama.
|
Pakara
: alat tenun
|
Pakara.
Terdiri dari kata dasar.
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Para
wanten
|
Onggokan
makanan. Onggokan yang terdiri dari beras, telur ayam, gula aren, pisang,
kue-kue, rujak-tujak manis (minuman) yang disediakan pada saat upacara
|
Para
wanten : onggokan
|
Kalimat
majemuk
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Tektek
|
Keseimbagan.
Kedua helai daun sirih yang berlainan ranting yang menunjukkan dua jenis
indan yang berlainan tempat tinggal yang memiliki kerukunan yang seimbang
|
Tektek
: keseimbangan, kerukunan
|
Reduplikasi
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Maskawin
(mahar)
|
Hadiah
(belis-suka) yang diberikan kepada si gadis. Mahar dari calon suami kepada
calon isterinya karena si gadis telah suka dikawini.
|
Maskawin
= beli-suka
|
Maskawin
|
Referennya
mengacu pada objek.
|
Arak-arakan
|
Iring-iringan
yang dilakukan seusai ijab qabul. Sesudah akad nikah selesai kedua pengantin
akan dipertontonkan menggunakan kendaraan dan diiringi bunyi-bunyian.
|
Arak-arakan
: iring-iringan, digiring, dipertontonkan
|
Reduplikasi
+ an
|
Referennya
mengacu pada tindakan.
|
b.
Upacara Sesudah Perkawinan
Upacara sesudah
perkawinan adalah upacara yang dilakukan setelah usai proses arak-arakan.
Berikut adalah tahap-tahap upacara sesudah perkawinan
Istilah
|
Arti
|
Makna
Leksikal
|
Makna
Gramatikal
|
Makna
Kontekstual
|
Nyawer
|
Kegiatan
yang dilakukan oleh juru sawer dengan menabur-naburkan perlengkapan dengan
mencipratkan air kepada kedua mempelai
|
Nyawer
: air jatuh menciprat
|
Ny
+ sawer. Terdiri dari proses afiksasi. Referennya mengacu pada tindakan.
|
Juru
sawer melemparkan dan menaburkan perlengkapan seperti kapur, gambir, pinang
yang dijadikan satu seolah-olah juru sawerlah yang member harta kekayaan yang
harus dicari oleh kedua mempelai setelah menikah
|
Injak
telur
|
Upacara
yang dilakukan dengan menginjakkan kaki pada telur
|
Injak
: menginjak
Telur
: telur ayam
|
Kalimat
majemuk. Terdiri dari proses afiksasi. Referennya mengacu pada tindakan.
|
Telur
ayam dipecahkan melambangkan kerelaan mempelai wanita dipecah kegadisannya
karena sudah menjaadi kodrat seorang istri melayani suami
|
Upacara
huap lingkung
|
Upacara
yang dilakuakan untuk melingkupi kedua mempelai agar tidak ada perasaan malu
diantara keduanya
|
Huap
: suap
Lingkung
: melingkupi/ mengurung
|
Kalimat
majemuk. Terdiri dari proses afiksasi. Referennya mengacu pada tindakan.
|
Upacara
yang dimaksudkan untuk menghapus rasa malu, canggung, belum saling kenal, dan
member kesan bahwa suami istri memang harus berperilaku mesra dan intim
|
3. Adat
Sesudah Perkawinan
Adat sesudah perkawinan adalah adat kebiasaan yang
dilazimkan dalam masyarakat untuk mengatur masalah-masalah yang berhubungan
dengan perkawinan, yaitu sesudah perkawinan dilaksanakan. Dalam ruang lingkup
ini termasuk hal-hal: adat menetap sesudah kawin, adat mengenai perceraian dan
kamin ulang, dan hukum waris.
a.
Adat Menetap Sesudah Kawin
Pada umumnya calon-calon pengantin
sebelumnya tidak begitu memikirkan tentang tempat tinggal namun berdasarkan
adat istiadat, pengantin laki-laki sesudah kawin tinggal menetap di rumah orang
tua pengantin perempuan baik untuk sementara maupun untuk jangka waktu yang
lama. Apabila sudah berkecukupan, mereka lalu berusaha mendapatkan rumah untuk
pindah.
b.
Adat mengenai perceraian dan kawin ulang
Tidak ada lagi pantangan untuk menikah
sekali seumur hidup semenjak ada pengaruh agama Islam di Jawa Barat yang
menurut ketentuan Islam seorang laki-laki boleh beristeri sampai 4 orang dan
boleh bercerai dengan alasan yang dapat diterima dengan ketentuan-ketentuan
dalam agama Islam dan yang sudah ditetapkan dala Undang-undang Perkawinan,
yaitu Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang harus dipatuhi
oleh segenap warganegara Republik Indonesia.
c.
Hukum Waris
Biasanya pembagian waris diatur oleh waris
(laki-laki) yang tertua sampai mendapatkan persesuaian di antara semua para
waris. Tetapi kalau tidak mendapatkan persesuaian, maka dimintakan pertimbangan
orang-orang dari saudara-saudara pihak bapak atau ibu. Kalau dengan ini masalah
belum juga selesai maka dimintakan pertimbangan dan penyelesaian dari pihak
Kantor Urusan Agama setempat.
C.
KETERKAITAN ANTARA BAHASA DENGAN
ISTILAH-ISTILAH ADAT UPACARA
PERKAWINAN JAWA BARAT
Etnolinguistik mempelajari manusia dari
keanekaragamaan fisik serta kebudayaan yang dihasilkan sehingga setiap manusia
yang satu dengan yang lainnya berbeda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
kebudayaan khususnya pada adat istiadat pernikahan Jawa Barat mempengaruhi
bahasa yang digunakan sebagai istilah-istilah dalam adat dan upacara pernikahan
Jawa Barat.
Istilah-istilah dalam pernikahan adat Jawa Barat paling banyak
menggunakan afiksasi. Hal tersebut disebabkan oleh referen yang dominan mengacu
ada objek. Objek tersebut mengacu pada
simbol yang dijelaskan secara tidak langsung dan mengacu pada alam sekitar (telur, beras,
pisang, sirih, dll). Simbol tersebut memiliki makna-makna khusus yang ada di
wilayah sekitar yang mengacu pada pertanian. Kebanyakan profesi adat Jawa Barat
adalah petani dan peternak karena tingginya curah hujan dan banyaknya
waduk-waduk dan muara yang dijadikan sebagai sumber irigasi.
Sapir dan Whorf mengemukakan bahwa
bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menetukan cara dan
jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu meepengaruhi pula tindak lakunya. Dalam
kaitannya dengan hipotesis Sapir-Whorf dalam bahasa-bahasa di Indonesia,
bahwasannya bahasa dipandang berpengaruh besar terhadap kultur dan menjadi
penentu cara berpikir individu-individunya, serta bahasa berpengaruh besar
terhadap kebudayaan dan menentukan wujud-wujud dari kebudayaannya, dan juga
terdapat pula beberapa sikap budaya yang erat kaitannya dengan sikap bahasa,
dimana sikap bahasa itu boleh dikatakan terjabar dari sikap budaya, maka dari
sini dapat dibuat pelajaran dan evaluasi supaya dapat dikembangkan dan
dikukuhkan agar menjadi menjadi ciri jati diri warga negara Indonesia.
Keterkaitan antara teori istilah-istilah yang
ada di pernikahan adat Jawa dengan teori Sapir-Whorf benar adanya. Hal ini
didukung oleh data-data yang menggunakan bahasa Sunda dalam menyebut suatu
istilah. Pada hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur terbukti
bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari seperti istilah-istilah adat dan upacara di Jawa
Barat menggunakan bahasa Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
________.
2012. Hipotesis Sapir Whorf dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa di
Indonesia (Artikel)
diakses melalui
________.
1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Daerah.